Oleh: Dr. Anggawira Sekretaris Jenderal BPP HIPMI

Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW selalu menjadi momentum penting untuk meneguhkan kembali makna kepemimpinan yang berlandaskan akhlak mulia dan visi peradaban. Nabi Muhammad tidak hanya menyampaikan risalah agama, tetapi juga membuktikan diri sebagai seorang pemimpin negara, diplomat, dan negarawan yang mampu menata masyarakat di tengah tantangan besar.
Sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki peluang besar untuk meneladani nilai dan strategi Nabi: menjadikan ilmu sebagai fondasi, menegakkan meritokrasi dalam kepemimpinan, serta membangun etos ekonomi yang adil dan berintegritas.
Spirit Iqra’ dan Jalan Ilmu Pengetahuan
Wahyu pertama yang diterima Nabi adalah Iqra’ (bacalah). Pesan ini bukan hanya ajakan literasi, tetapi sebuah strategi revolusioner: menempatkan ilmu pengetahuan sebagai jalan utama membangun peradaban. Tidak heran peradaban Islam pada masa keemasan melahirkan ilmuwan besar di bidang kedokteran, matematika, astronomi, hingga filsafat.
Sayangnya, Indonesia sebagai negara muslim terbesar masih tertinggal dalam hal riset dan teknologi. Menurut Global Innovation Index 2024, kita berada di peringkat 71 dunia, jauh tertinggal dari Singapura (5) atau Malaysia (36). Anggaran riset kita baru 0,28% dari PDB, sementara Korea Selatan lebih dari 4,5%. Ini menunjukkan perlunya lompatan besar agar Iqra’ tidak hanya jadi simbol, tetapi benar-benar menjadi gerakan nasional.
Kepemimpinan Meritokratis: Pelajaran dari Nabi
Selain menekankan ilmu, Nabi Muhammad SAW juga memberikan teladan kepemimpinan yang berbasis meritokrasi. Beliau memilih orang-orang terbaik bukan karena kedekatan biologis atau faktor sosiologis, melainkan karena integritas dan kompetensi.
• Bilal bin Rabah, seorang mantan budak, dipercaya sebagai muadzin pertama karena kualitas iman dan suaranya yang merdu, meski berasal dari latar belakang rendah.
• Zaid bin Haritsah, bukan kerabat sedarah, diangkat sebagai panglima perang yang memimpin pasukan besar karena keahlian dan loyalitasnya.
• Abu Ubaidah bin Jarrah, dikenal sebagai “orang terpercaya umat ini”, dipilih memimpin pasukan di atas sahabat-sahabat besar lain karena integritasnya.
Dari teladan ini, jelas bahwa meritokrasi adalah pilar kepemimpinan Nabi: memberikan amanah kepada yang paling cakap, bukan yang paling dekat.
Indonesia dan Tantangan Kepemimpinan
Konteks Indonesia hari ini menunjukkan bahwa politik dan kepemimpinan sering masih dikuasai logika kedekatan, bukan meritokrasi. Akibatnya, regenerasi terhambat, dan kualitas kepemimpinan sering dipertanyakan publik.
Dalam dunia usaha maupun birokrasi, kepercayaan lahir bila kepemimpinan dijalankan secara transparan, inklusif, dan berbasis kompetensi. Momentum Maulid ini mengingatkan kita bahwa bangsa yang besar hanya bisa berdiri kokoh jika dipimpin oleh figur yang kredibel dan meritokratis, sebagaimana Nabi Muhammad membangun masyarakat Madinah.
Penutup: Maulid Sebagai Momentum Bangsa
Maulid Nabi SAW bukan sekadar ritual seremonial, tetapi refleksi strategis. Indonesia harus berani menempatkan Iqra’ sebagai dasar pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi, sekaligus menegakkan meritokrasi dalam kepemimpinan di semua level.
Sebagai negara muslim terbesar, kita tidak boleh hanya menjadi konsumen peradaban, tetapi harus tampil sebagai produsen ilmu, teknologi, dan nilai-nilai moral dunia. Meneladani Nabi Muhammad berarti membangun kepemimpinan yang berilmu, meritokratis, dan terpercaya—karena hanya dengan cara itulah Indonesia benar-benar bisa menjadi negara maju.