Oleh: Dr. Anggawira Sekretaris Jenderal BPP HIPMI

Keputusan Danantara melalui Surat No. S-063/DI-BP/VII/2025 yang melarang pembayaran tantiem dan insentif variabel bagi Dewan Komisaris BUMN sejak tahun buku 2025 merupakan langkah reformasi yang patut diapresiasi. Meskipun menuai polemik, terutama dari pihak yang menilai kebijakan ini bertentangan dengan struktur Two Tier Board yang dianut BUMN di Indonesia, semangat perbaikannya perlu dipahami secara jernih dan dalam kerangka yang lebih besar: reformasi menyeluruh tata kelola negara sebagaimana digariskan Presiden Prabowo Subianto.
Sebagai Sekretaris Jenderal HIPMI, saya melihat keputusan ini sebagai momentum penting dalam memperbaiki ekosistem korporasi negara. BUMN bukan sekadar entitas bisnis, tetapi juga alat strategis negara dalam membangun kedaulatan ekonomi nasional. Maka, transparansi, efisiensi, dan integritas dalam tata kelola menjadi syarat mutlak agar BUMN benar-benar bekerja untuk rakyat, bukan untuk kepentingan elite.
Bagian dari Semangat Astha Cita
Kebijakan ini juga sangat sejalan dengan agenda besar Astha Cita, delapan program prioritas Presiden Prabowo. Salah satu butir utamanya adalah menegakkan tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, dan efisien, serta memaksimalkan manfaat BUMN bagi rakyat.Presiden Prabowo dalam berbagai kesempatan menegaskan bahwa:
“Kita ingin membangun pemerintahan yang kuat, tapi juga bersih. Semua bentuk penyimpangan, pemborosan, dan penyalahgunaan kekuasaan harus diakhiri.”
Larangan tantiem komisaris adalah cermin nyata dari semangat ini. Ia mengirimkan pesan bahwa reformasi tidak hanya menyasar sektor luar, tetapi dimulai dari tubuh negara sendiri.
Kompensasi Harus Berbasis Kontribusi
Dalam praktiknya, pemberian tantiem kepada komisaris BUMN tidak selalu mencerminkan kualitas pengawasan atau nilai tambah strategis. Tak jarang, jabatan komisaris lebih bersifat politis, dengan kehadiran minim dan kontribusi terbatas, namun tetap menikmati bonus berbasis kinerja laba perusahaan.
Reformasi yang dilakukan Danantara ingin mengakhiri warisan pola kompensasi seperti ini. Prinsipnya jelas: penghargaan harus mencerminkan kontribusi nyata dan terukur, bukan sekadar formalitas jabatan.
Menjawab Kritik: Ubah Pola, Bukan Hapus Apresiasi
Kritik terhadap kebijakan ini sebagian besar mengacu pada struktur hukum Two Tier Board yang memisahkan fungsi pengawasan dan eksekutif. Kritik ini valid. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa sistem tersebut pun dapat disalahgunakan bila tidak dibarengi desain insentif yang sehat.
Jika ada komisaris yang bekerja keras, memimpin komite audit, memberi arah transformasi, dan memikul risiko hukum, maka penghargaan tetap dapat diberikan. Namun bentuknya harus berbasis Key Performance Indicator kelembagaan, dievaluasi secara independen, dan akuntabel kepada publik.
Tiga Alasan Reformasi Ini Mendesak
1. Menghindari Konflik Kepentingan
Komisaris yang memperoleh insentif dari laba perusahaan rentan menjadi permisif terhadap keputusan direksi yang tidak sehat secara jangka panjang.
2. Memulihkan Integritas Sistem Pengawasan
Reformasi ini memaksa proses seleksi dan evaluasi komisaris berpindah dari pendekatan politis ke arah profesionalisme berbasis kontribusi.
3. Menanamkan Etika Pelayanan Publik
BUMN adalah pelayan negara. Jabatan komisaris bukanlah privilege, melainkan amanah yang menuntut integritas, bukan insentif.
Rekomendasi HIPMI: Perkuat, Jangan Mundur
Agar reformasi ini tidak menjadi simbolis, HIPMI menyarankan:
1. Bangun sistem evaluasi Dewan Komisaris berbasis kontribusi terhadap tata kelola dan pencapaian strategis.
2. Kembangkan bentuk insentif non-finansial, seperti pengakuan reputasi, pelatihan kepemimpinan, dan keterlibatan dalam proyek strategis nasional.
3. Libatkan lembaga independen seperti KPK, akademisi, dan masyarakat sipil dalam merancang ulang sistem insentif yang adil, efisien, dan kredibel.
Penutup: Reformasi yang Sejalan dengan Amanat Rakyat
Reformasi insentif ini memang tidak nyaman bagi sebagian pihak, tapi justru di situlah letak signifikansinya. Ini adalah cermin dari keberanian negara untuk menegakkan keadilan struktural di dalam dirinya sendiri.
Presiden Prabowo menyampaikan bahwa perubahan besar hanya mungkin dicapai bila negara hadir dengan akal sehat, disiplin, dan keberanian moral. Danantara sedang melaksanakan bagian dari keberanian itu.
Sebagai bagian dari generasi pengusaha muda, kami di HIPMI mendukung penuh langkah ini. Karena masa depan BUMN yang sehat adalah fondasi ekonomi nasional yang kuat. Dan itu hanya bisa dibangun jika semua aktor di dalamnya diberi penghargaan yang adil, bukan berdasarkan kedekatan, tetapi kontribusi.
Karena integritas yang dihormati akan melahirkan kepercayaan. Dan kepercayaan adalah modal terbesar bangsa dalam membangun kemandirian.