Oleh: Asep Solihudin S.Sos.,M.E.
Bahasa buku banget judul tulisan saya pagi ini, Anda tau budaya kemiskinan dan struktural kemiskinan? Ia, ini adalah bahasa yang biasa didengar dalam istilah sosiologis. Bahasa atau kalimat ini menunjukan kepada orang yang memiliki sifat dan karakter orang miskin. Atau tepatnya ketamakan bin rakus.
Kita lihat di panggung kehidupan bernegara dari dulu dan saat ini, meski pemerintah Prabowo-Gibran tengah berjuang untuk memberantas korupsi dan memberikan kehidupan yang layak buat rakyat Indonesia, namun nyatanya masih saja ada pelaku-pelaku yang nekat mencuri uang rakyat. Atau merekayasa kebijakan untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya.

Ironis memang, nah potret orang kaya terus memperkaya diri dengan cara tidak halal dicap sebagai “budaya kemiskinan” dan struktural baik pemerintah dan swasta yang merekayasa diri untuk mencapai kekayaan diistilahkan sebagai “struktural kemiskinan”.
Apa yang salah? jawabanya salah banget, apa lagi sedang ramai dengan kondisi rangkap jabatan di tubuh pemerintahan, ya pastinya ini dikenal dengan stuktural kemiskinan.
Kondisi seperti ini harus kembali ke jalan yang benar! jalan yang diridhoi oleh konstitusi dan yang memang bisa berdampak kepada kemaslahatan dan kesejahteraan. Bukan jalan orang-orang sesat yang dimurkai oleh hukum dan dihujat oleh rakyat yang waras!
Permasalahan dua istilah ini memang terjadi dan terbentuk serta mengkristal dari semenjak republik ini berdiri, mentolerir dengan segala bentuk KKN dan uang pelicin berdampak kepada kondisi kekinian. “Susah menjadi orang benar yang akibatnya benar-benar menjadi orang susah” merupakan kehidupan yang dialami oleh kaum ploletar, kaum menengah ke bawah, kaum yang memang hanya bisa bermimpi dan bersabar, kaum yang selalu berkata mungkin tahun depan atau ekstrimnya semoga di kehidupan yang lain kita akan bahagia.
Buat kaum menengah ke bawah, bermimpi indah itu lebih bahagia dibanding membuka mata bersama dengan tuntutan yang tidak ada henti.
Kerena budaya kemiskinan dan struktural kemiskinan tidak dienyahkan sedari diri dulu, dampainya sekarang, Negara kaya tapi rakyat masih dibawah garis kemiskinan, mau maju nggak maju-maju karena ini penyakit kronis yang memang sulit untuk diselesaikan, karena mau selesaikan masalah butuh “Orang Dalam” butuh “Pelicin” pertanyaanya sampai kapan?
Indonesia emas 2045, bisa saja ini jadi halu? kenapa, sebab SDM tidak dibentuk, tidak menjadi fokus, bisa jadi 2045 malah menciptakan generasi obesitas, karena apa? karena tidak hanya makan, tapi di sektor pendidikan dan sektor kesehatan dan olah raga perlu mendapatkan perhatian, seperti ada badan kesehatan dan olah raga yang tujuannya memantau secara fokus kesehatan dan olah raga para anak-anak. Atau nggak usah ada badan itu, karena nanti malah keluar anggaran negara lagi, kembalikan ke sekolah dan guru untuk menjalankan tugas itu, menjaga kesehatan dan olah raga murid, dengan segala bentuk kegiatan yang menunjang.
Kembali ke kemiskinan struktural dan budaya kemiskinan, sudah saatnya disekolah pun ada pelajaran khusus terkait korupsi! dan pengentasan kemiskinan. Pelu, karena biar anak-anak tau dan paham dan kalau bisa membenci dua hal itu, Mata pelajaran korupsi diharapkan anak-anak bisa dan mampu mengidentifikasi bahwa korupsi merupakan musuh negara, dan pengentasan kemiskinan agar tercipta anak-anak dengan spirit membangun bangsa melalui jiwa kewirausahaan.
Sudahlah keluar dari paradigma pendidikan yang itu-itu saja, sebab sekolah bukan mendoktrin anak untuk menjadi pakar hebat, mereka hanya perlu paham dan mengerti, bukan hapal, mereka mesti memiliki rasa untuk mau berubah dan mengubah bangsa ini, bukan menjadi pengikut, anak-anak sudah cukup dirusak dengan serangan laten alat-alat elektronika dan sampai saat ini pun mereka menjadi candu.
Jika tidak mau dilawan, maka terus Indonensia akan berada di kondisi yang sama, ingat jumlah sekolah kita sedikit dan kualitas pendidikan kita sangat rendah.
Pendidikan di Indonesia sering kali mendapat peringkat rendah dalam berbagai survei internasional, seperti PISA dan World Population Review. Peringkat tersebut menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih belum memenuhi standar internasional, terutama dalam hal literasi membaca, matematika, dan sains.
Nah, berdasarkan Survei Internasional:
PISA:
Indonesia berada di peringkat ke-70 dari 80 negara dengan skor literasi membaca 359. Peringkat Indonesia dalam PISA 2022 adalah ke-68 dengan skor matematika 379, sains 398, dan membaca 371. Peringkat Indonesia dalam survei PISA 2018 adalah ke-74 dari 79 negara.
Berdasarkan World Population Review:
Indonesia menempati peringkat ke-67 dengan tingkat literasi 96%. Dalam peringkat Asia Tenggara, Indonesia berada di peringkat ke-4, di belakang Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Peringkat lainnya Worldtop20.org:
Lembaga ini menempatkan Indonesia di peringkat ke-67 dari 203 negara. Indonesia menempati peringkat ke-96 dari 173 negara.
Tantangan dan Masalah:
Kualitas Pendidikan:
Peringkat yang rendah dalam PISA dan World Population Review menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih belum memadai, terutama dalam hal literasi, kemampuan matematika, dan sains.
Penyebaran:
Pendidikan di Indonesia juga belum merata di seluruh wilayah, sehingga ada perbedaan kualitas pendidikan antara daerah yang satu dengan daerah lainnya.
Tingkat Pendidikan:
Sebagian besar penduduk Indonesia hanya memiliki pendidikan sampai tingkat SMP atau sederajat, sementara tamatan perguruan tinggi masih relatif sedikit.
Selain pendidikan penegakan hukum pun perlu diterapkan, namun penegakan hukum juga mesti dan harus jadi prioritas. Dari semua ini mesti diambil jalan singkat, maaf, boleh dikatakan jalan revolusi pendidikan dan hukum.
Sebagai penutup saya berpendapat, “Jangan nyaman dengan kodisi yang ada saat ini, sebab bisa jadi itu yang akan membawa kita ke dalam neraka”