
Presiden Prabowo bersama Ustadz Adi Hidayat, dalam program gerakan me

Oleh: Haris Rusly Moti, Eksponen Gerakan Mahasiswa 1998, UGM Yogyakarta.
Kita sedang menghadapi situasi peperangan mengunakan senjata tarif dan currency. Di tengah guncangan dan ketidakpastian situasi geopolitik tersebut, bangsa kita berhasil memulai langkah dengan dasar yang kuat dan arah yang tepat, yaitu membangun kemandirian di sektor pangan.
Saya pribadi cukup terharu dengan capaian 6 bulan pemerintahan di sektor pertanian. Dalam waktu yang terbilang singkat itu, kita berhasil mencapai swasembada beras, kita “kebanjiran” beras dari petani kita sendiri.
Menurut saya bangsa kita berpeluang membangun kemandirian industri pangan justru ketika berlangsung perang tarif dan perang currency. Ketika setiap negara menerapkan kebijakan “border protection” melalui penerapan tarif yang tinggi, keadaan itu memaksa setiap negara di dunia untuk “mau tidak mau” atau “suka tidak suka” harus bisa hidup dan tumbuh dari diri sendiri, mandiri dan tidak bergantung.
Kita semua melihat sendiri bagaimana gempuran impor produk industri asing telah meruntuhkan industri nasional kita. Industri manufaktur kita yang menyerap lapangan pekerjaan tinggi ambruk, industri tekstil runtuh, industri pertanian babak belur.
PHK dan pengangguran meluas sebagai akibat dari terjadinya deindustrialisasi nasional. Kita memang tidak diuntungkan oleh sistem perdagangan bebas tanpa hambatan tarif, tidak banyak produk industri yang kita ekspor, selain ekstratif yang duitnya di parkir di luar negeri. Negara yang diuntungkan oleh perdagangan bebas tanpa hambatan tarif adalah yang mempunyai industri produk ekspor.
Karena itu sangat tepat Gandhi mengajarkan gerakan swadesi, maksudnya “makan dan pakai apa yang dihasilkan oleh negeri sendiri”. Dalam bahasa sederhana, konsep swadesi menurut Gandhi mengarah pada Swarajya (kemerdekaan). Dalam arti pemerintah oleh negeri sendiri (self-rule), yang bertumpu pada kekuatan sendiri (self-reliance).
Begitu juga Bung Karno yang menjadi guru ideologis Presiden Prabowo, mewarikan kepada kita tentang Trisakti, berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan berkepribadian nasional. Sekali lagi kita mesti memanfaatkan momentum untuk menegakan Trisakti dalam situasi ketika berlangsung perang dagang.
Jika kita melihat data BPS, produksi gabah kering giling (GKG) pada periode Januari-April 2025 mencapai 24,22 juta ton, dengan produksi beras mencapai 13,95 juta ton. Angka ini merupakan yang tertinggi dalam 7 tahun terakhir. Sementara konsumsi beras domestik tercatat sekitar 10,37 juta ton. Dengan data BPS ini, dipastikan untuk saat ini kita tidak perlu lagi impor beras.
Tidak gampang! Tapi itu fakta. Dan kita makin optimis, dalam 6 bulan ke depan kita akan menjadi salah satu eksportir beras. Kartel pemakan rente impor beras dan komiditi pangan lain pasti muntah darah, nangis darah dengan capaian ini.
Mari kita lihat data berikut, pada pertengan April 2025, menurut keterangan resmi Perum Bulog telah berhasil menyerap 1,4 juta ton gabah dari target 2 juta ton pada bulan April 2025. Jika dibandingka 2022 994 ribu ton, 2023 1,066 juta ton, 2024 1,266 juta ton.
Dalam 6 bulan pemerintahan juga, melalui Badan Pangan Nasional (Bapanas), pemerintah membuat kebijakan menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani sebesar Rp. 6.500 per kilogram. Petani kita bisa mempunyai penghasilan jumbo dalam panen raya kali ini.
Selama ini petani kita selalu menghadapi kutukan di saat datang musim tanam dan di saat panen raya. Saat musim tanam tiba, petani menghadapi kutukan sulit memperoleh pupuk dan benih unggul. Ketika panen raya datang, petani dihadapkan pada kutukan jatuhnya harga gabah. Petani kita merintih dan merana justru di saat berlangsun panen raya.
Menurut keterangan Kementerian Pertanian, problem distribusi pupuk subsidi terhambat oleh birokrasi yang sengaja dibikin ruwet, harus melalui lebih dari 145 aturan yang meliputi 41 undang-undang, 23 peraturan pemerintah, 6 peraturan presiden, serta harus melibatkan 11 kementerian dan lembaga.
Presiden Prabowo Subianto melakukan reformasi dengan menyederhanakan sistem distribusi pupuk, yang kini hanya melibatkan tiga pihak: Kementerian Pertanian, Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC), dan petani. Kebijakan ini sangat positif, distribusi pupuk menjadi lebih cepat dan tepat sasaran, petani kembali aktif menanam, konsumsi pupuk meningkat.
Presiden Prabowo hadir dengan nafas dan semangat Pembukaan UUD 1945, “melindungi segendap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Semangat ini yang menyertai kebijakan pemerintah untuk melindungi industri pertanian kita dengan sejumlah kebijakan yang selama menghambat.
Memang belum banyak yang sempurna dalam mengimplementasikan sejumlah kebijakan strategis pemerintah, masih banyak kekurangan di sana sini, termasuk dalam program nasional swasembada pangan. Namun niat baik itu telah dibuktikan melalui implementasi nyata melindungi petani dan industri pertanian.
Kedepan kita berharap pengusaha nasional kita mulai masuk di sektor pertanian, kampus atau perguruan tinggi juga mulai dilibatkan dalam riset dan inovasi terkait baik bibit maupun teknologi pertanian, agar hasil pertanian makin melimpah. Dengan demikan cita-cita menjadikan Indonesia lumbung pangan dunia dapat diwujudkan.
Menurut saya selama seorang pemimpin itu punya niat baik untuk rakyat dan bangsanya, saya yakin Insya Allah “wahyu” akan menyertai, melandasi dan menuntunnya. Mari menanam!!