Oleh: Dr. Anggawira Sekretaris Jenderal BPP HIPMI
Peringatan Hari Lahir Pancasila tahun ini membawa pesan yang kuat dan tegas dari Presiden Prabowo Subianto. Dalam pidatonya di Istana Negara, Presiden tidak hanya mengingatkan pentingnya menjadikan Pancasila sebagai dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi juga menyoroti tantangan nyata yang dihadapi bangsa ini: mentalitas sebagian elit dan praktik korupsi yang merusak sendi-sendi pemerintahan.

Presiden menegaskan bahwa seluruh unsur negara harus berbenah. Pemerintah, menurutnya, tidak akan ragu mengambil tindakan terhadap pihak-pihak yang tidak setia kepada bangsa. “Yang tidak setia terhadap negara akan kita singkirkan,” tegas Presiden Prabowo.
Sebagai pelaku usaha, kami menyambut baik sikap ini. Sebab praktik bisnis yang sehat dan adil tidak bisa berjalan jika ruang ekonomi dicemari oleh korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Dunia usaha yang ingin tumbuh dan berkontribusi dalam pembangunan bangsa sangat membutuhkan kepastian hukum, integritas birokrasi, dan tata kelola yang bersih.
Peran Pengusaha dalam Mewujudkan Keadilan Sosial
Keadilan sosial bukan sekadar sila kelima dalam Pancasila. Ia adalah cita-cita luhur yang harus diwujudkan melalui kerja nyata. Dalam konteks ekonomi, pengusaha memiliki posisi strategis sebagai pencipta lapangan kerja, penggerak inovasi, dan pembayar pajak.
Namun dalam praktiknya, masih banyak tantangan yang harus dihadapi. Data BPS menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan masih tinggi, dengan Gini Ratio berada di angka 0,379 per akhir 2024. Selain itu, sebanyak 97% pelaku usaha di Indonesia berasal dari sektor UMKM, namun mereka hanya menikmati akses terbatas terhadap permodalan dan pasar. Ketimpangan ini tidak akan selesai hanya dengan regulasi, tetapi butuh partisipasi aktif dari para pengusaha—khususnya mereka yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila.
Siapa Itu Pengusaha Pancasilais?
Pengusaha Pancasilais adalah mereka yang menjalankan bisnis berdasarkan nilai-nilai keadilan, gotong royong, persatuan, dan kemanusiaan. Mereka tidak sekadar mengejar keuntungan pribadi, tapi juga berusaha menciptakan dampak sosial yang luas.
Ada beberapa ciri yang melekat pada pengusaha berjiwa Pancasila:
• Menjunjung tinggi etika dan integritas dalam setiap proses bisnis.
• Memberikan perhatian pada kesejahteraan karyawan dan masyarakat sekitar.
• Taat membayar pajak, patuh terhadap regulasi, dan tidak bermain di wilayah abu-abu hukum.
• Terlibat aktif dalam pemberdayaan UMKM dan pembangunan daerah tertinggal.
• Menjaga kelestarian lingkungan sebagai bagian dari keberlanjutan usaha.
Membangun Ekosistem Usaha yang Adil
Praktik-praktik memalukan seperti intimidasi untuk mendapatkan proyek, sebagaimana terjadi di Cilegon, Banten, adalah contoh pengusaha yang tidak Pancasilais. Tindakan seperti ini mencoreng citra dunia usaha dan menakut-nakuti investor yang ingin masuk dengan cara yang sah.
Jika kita ingin menjadikan Indonesia sebagai pusat pertumbuhan ekonomi ASEAN, bahkan dunia, maka dunia usaha harus bersih dari praktik kotor. Pemerintah dapat menciptakan regulasi dan menindak pelanggaran, namun tanggung jawab moral tetap ada di tangan pelaku usaha.
HIPMI sebagai organisasi pengusaha muda telah, dan akan terus, mendorong anggotanya menjadi pelaku ekonomi yang berjiwa Pancasila—mampu tumbuh secara profesional, tetapi tetap mengakar pada nilai-nilai kebangsaan.
Penutup: Bisnis yang Bermoral, Bangsa yang Berdaulat
Presiden Prabowo menegaskan bahwa tidak ada orang yang boleh menjadi sekaya-kayanya sendiri di Indonesia. Pernyataan ini bukan anti-kemakmuran, melainkan penegasan bahwa kekayaan harus memberi manfaat bagi masyarakat luas. Ini adalah bentuk konkret dari semangat keadilan sosial.
Dengan demikian, pengusaha bukan hanya berperan sebagai motor ekonomi, tetapi juga sebagai agen moral dan sosial. Indonesia tidak kekurangan sumber daya alam. Yang dibutuhkan adalah sumber daya manusia dan pengusaha yang Pancasilais—yang menjalankan bisnis dengan hati, dengan tanggung jawab, dan dengan semangat membangun bangsa.